
Karawang–Tinta Merah Net-Pilkada ulang Pangkalpinang kembali memanas, bukan karena adu visi-misi, tetapi oleh tudingan serius terhadap salah satu kelompok calon independen: Tim Merdeka, pendukung pasangan Eka Mulya Putra dan Radmida Dawam. Mereka dituduh menyalahgunakan data pribadi warga dalam proses pengumpulan dukungan. Tuduhan ini bukan saja berbahaya, tetapi juga mengkhawatirkan bagi masa depan demokrasi lokal.
Tim Merdeka telah memberikan bantahan keras, menyebut tudingan itu sebagai upaya delegitimasi dan penggiringan opini publik secara sepihak. Dan jika kita telisik lebih jauh, respons cepat dan detil dari Tim Merdeka mengindikasikan bahwa mereka tidak hanya siap menghadapi tuduhan tersebut, tapi juga mengungkap ketakutan nyata sebagian pihak terhadap keberadaan calon independen.
Inilah realitas politik kita hari ini: ketika seseorang di luar sistem partai mencoba masuk ke gelanggang demokrasi, mereka kerap disambut bukan dengan fair play, tetapi dengan tuduhan, framing, bahkan intimidasi. Lalu publik disuguhi narasi negatif yang membayangi setiap gerak calon independen, seolah-olah mereka adalah ancaman bagi tatanan.
Padahal, kehadiran calon independen justru merupakan esensi dari demokrasi itu sendiri: memberi ruang bagi rakyat untuk memilih alternatif, bukan hanya memilih dari apa yang ditawarkan partai politik. Sistem kotak kosong yang terjadi di Pilkada sebelumnya menunjukkan betapa demokrasi lokal bisa begitu kering akan pilihan. Maka, bukankah logis jika publik mulai merindukan adanya figur-figur baru yang muncul dari luar sistem?
Tudingan penyalahgunaan data oleh Tim Merdeka terasa janggal. Mengapa? Karena proses pengumpulan dukungan calon independen adalah tahapan resmi dan sangat ketat. Ada pengawasan langsung dari KPU dan Bawaslu. Bahkan, KTP dukungan yang diberikan warga harus diverifikasi faktual ke lapangan. Menyalahgunakan data dalam sistem seketat itu? Rasanya seperti menuduh seseorang menipu di tengah kerumunan CCTV.
Yang menarik, tudingan ini muncul setelah kegiatan sosial seperti bazar minyak goreng murah yang digelar Tim Merdeka mendapat atensi publik. Padahal, bantuan sosial dalam kontestasi politik bukan hal baru—bahkan partai politik besar pun kerap melakukannya. Perbedaannya, ketika itu dilakukan oleh pihak independen, narasinya langsung berubah menjadi “politik transaksional” atau “modus pencurian data”.
Sarpin, Ketua Tim Merdeka, menyebut bahwa tidak ada kewajiban bagi warga yang menerima subsidi minyak untuk memberikan dukungan. Bahkan ada pengakuan warga yang ditawari uang untuk mencabut dukungan mereka terhadap pasangan independen. Jika benar, ini justru mengindikasikan adanya upaya sistematis untuk menjegal langkah mereka.
Pertanyaannya kemudian: siapa yang merasa terancam oleh keberadaan calon independen? Tentu saja pihak-pihak yang selama ini menikmati status quo politik. Calon independen kerap dianggap “liar”—tidak bisa dikendalikan oleh jaringan partai dan karenanya sulit diprediksi. Tapi dalam kerangka demokrasi, justru keberagaman pilihan itulah yang menjadi indikator sehat atau tidaknya sistem politik kita.
Kritik yang harus kita ajukan bukanlah kepada calon independen yang berani maju, tapi kepada sistem politik yang terlalu tertutup, terlalu eksklusif, dan sering kali alergi terhadap kekuatan alternatif. Kita tidak sedang bicara tentang siapa yang menang atau kalah dalam Pilkada. Kita bicara soal siapa yang berhak maju, siapa yang berhak dipilih, dan siapa yang berhak memilih.
Dalam konteks itu, kita seharusnya mendukung keterbukaan proses politik, termasuk memberi ruang yang setara bagi calon independen. Jika mereka bersalah, tentu ada mekanisme hukum yang bisa dijalankan. Tapi jika mereka difitnah, maka publik harus kritis terhadap motif di balik narasi yang disebar.
Demokrasi tidak boleh dimonopoli oleh elite. Demokrasi adalah hak rakyat. Ketika rakyat menyatakan dukungan kepada calon independen, itu adalah suara demokrasi yang paling murni. Maka, siapa pun yang berupaya meredamnya dengan fitnah dan delegitimasi sesungguhnya sedang merusak sendi demokrasi itu sendiri.
Dan akhirnya, seperti dikatakan Tim Merdeka: “Kami memang tak bersenjata penuh seperti partai. Tapi kami punya keberanian.” Mungkin, justru keberanian inilah yang kini membuat banyak pihak merasa gentar. (Redaksi)
Penulis : Puteri Utami, S.P., C.PW Alumni Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya (UNSRI) Tahun 2023, saat ini menjadi Editor di Jejaring Media KBO Babel. Artikel/Opini dibuat berdasarkan pemberitaan dari media online Babel tertanggal 24 April 2025.
Saran & Masukan terkait dengan tulisan opini silahkan disampaikan ke nomor redaksi 0812-7814-265 atau 0821-1227-4004.#